Minggu, 22 Januari 2012

Mengenal Gunawan lebih dekat.

Panggil Aku Gunawan . . . !



Gunawan, nama inilah yang dianugerahkan oleh kedua orang tua saya. Anak desa yang lahir di hari Selasa Wage, 8 Oktober 1991 ini berasal dari lingkungan yang sangat sederhana. Saya berasal dari keluarga petani di daerah Bojonegoro, Jawa Timur. Saya adalah anak keempat dari lima bersaudara. Ketiga kakak perempuan saya telah menikah dan berkeluarga sementara adik saya masih berada di bangku SMA kelas XII. Alhamdulillah, kini saya masih dikaruniai Allah untuk bisa menuntut ilmu di perantauan kawah candradimuka Negeri Ngayogyakarta Universitas Gadjah Mada di Fakultas Kehutanan.

Sebagai anak desa, banyak hal baru yang saya dapatkan selama masa perantuan ilmu. Sebuah kesempatan dimana berbagai keragaman nusantara berkumpul di sini. Saya bisa menemui teman-teman sebaya saya dengan berbagai latar belakang, seperti anak kota, anak pesantren, anak petualang, anak social, anak rumahan, anak gaul, anak manja, dan anak desa juga tentunya. Berbagai ragam bahasa juga saya temukan di sini seperti Bahasa Sunda, Bahasa Ngapak, bahasa anak kota, juga bahasa Jawa tentunya yang ternyata memiliki keberagaman di berbagai tempat. Perantauan ini merupakan awal saya memasuki berbagai dunia baru teman-teman dengan berbagai ciri fisik, tingkah laku, tutur kata, ideologi yang segar kamu muda.
Saya adalah mukmin yang masih harus banyak belajar. Seorang anak desa yang biasanya memiliki pondasi agama yang kuat namun tidak demikian dengan saya. Sejak kecil kehidupan saya selalu terisi dengan main-main dengan teman-teman desa sebaya. Pagi sekolah, dan sisanya bermain. Pribadi ini mulai melangkahkan sholat 5 waktu rutin pada masa SMP dan mulai berpuasa ramadhan masa SMA. Sampai saat ini saya masih kesulitan untuk membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Walaupun demikian, InsyaAllah saya akan berusaha memperbaiki diri, salah satunya selalu hadir di dunia SKI, terutama SKI fakultas. Itulah mengapa saya prioritaskan KMIK (Keluarga Mahasiswa Islam Kehutanan) di masa kuliah saya.

Sebagai anak desa yang berasal dari lingkungan yang dulu terpencilkan di Jawa Timur, saya merasa menjadi pribadi yang berbeda dengan teman-teman saya di sini. Watak saya yang cenderung keras, temperamental, bahasa Bojonegoro-an saya yang selalu tidak bisa dipahami oleh teman-teman saya, termasuk yang juga berasal dari Jawa Timur, juga ketidakfasihan saya menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa dialek keseharian membuat saya dibedakan dari teman-teman yang lain. Seringkali saya tersenyum sendiri ketika melihat gaya dialek teman-teman saya karena terasa anah dalam ranah bahasa saya selama ini. Rasanya saya seperti sebutir nasi di dalam tumpukan gandum bercampur tepung juga tumpukan jagung. Saya merasa seperti orang asing di antara kumpulan orang-orang asing.

        Pribadi malas, gagap teknologi, kurang wawasan dan pergaulan masih menjadi momok bagi saya sampai saat ini. Gaya hidup masa kecil mengajarkan saya yang sering main-main, tidur tengah malam bahkan lebih, bangun kesiangan, terlambat kuliah, malas nulis dan nyatat dan keseringan ketiduran di perkuliahan masih berlaku sampai saat ini dan sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru ini. Di Ngayogyakarta ini, saya merasa menjadi orang purba yang datang dalam ukhuwah masyarakat madani. Terasa seperti awal memasuki kampung dunia modernisasi yang di dalamnya telah ada teman-teman saya sebagai tuan rumah. Sampai saat saya belum bisa mengendarai sepeda motor padahal di sini banyak mahasiswa yang kuliah sambil mengendarai mobil.